FAKTOR FAKTOR RESISTENSI INDIA TERHADAP PRIVATISASI SEKTOR PERTANIAN PADA KTM (KONFERENSI TINGKAT MENTERI) WTO KE 9 DI BALI 2013

ASPIN NUR ARIFIN RIVAI (2014) FAKTOR FAKTOR RESISTENSI INDIA TERHADAP PRIVATISASI SEKTOR PERTANIAN PADA KTM (KONFERENSI TINGKAT MENTERI) WTO KE 9 DI BALI 2013. S1 thesis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

[thumbnail of Halaman Judul] Text (Halaman Judul)
Halaman Judul.docx

Download (331kB)
[thumbnail of Bab I] Text (Bab I)
Bab I.docx

Download (93kB)
[thumbnail of Bab II] Text (Bab II)
Bab II.docx
Restricted to Registered users only

Download (41kB)
[thumbnail of Bab III] Text (Bab III)
Bab III.docx
Restricted to Registered users only

Download (56kB)
[thumbnail of Bab IV] Text (Bab IV)
Bab IV.docx
Restricted to Registered users only

Download (76kB)
[thumbnail of Bab V] Text (Bab V)
Bab V.docx
Restricted to Registered users only

Download (33kB)

Abstract

Di penghujung tahun 2013 menjadi pertaruhan bagi negara maju dan berkembang yang terhimpun dalam WTO. Pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX WTO yang diadakan di Bali, Indonesia, pada bulan Desember tahun itu selain menjadi palagan pertarungan kepentingan negara-negara tersebut juga menjadi penentuan nasib India memperjuangkan ketahanan pangannya. Dalam KTM ke – 9 sebenarnya menyisahkan jurang kepentingan yang begitu lebar antara negara maju dan berkembang yaitu India menjadi tertuduh tidak kunjung tercapainya kesepakatan perundingan yang memuat adanya aturan subsidi di sektor pertanian. India mempunyai target untuk memenuhi subsidi pangan negara berkembang sebesar 15%, padahal ketetapan sebelumnya 10%, namun negara maju seperti Amerika Serikat menginginkan agar subsidi tersebut dihapus, tetapi India tetap bersikeras mempertahankan kenaikan subsidi tersebut atau tetap pada ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu 10%. Pada akhirnya India memenangkan kasus ini, walaupun subsidi tidak berhasil naik, tetapi subsidi tetap ada sebesar 10% dan tidak jadi di hilangkan, karena India tidak mau menegosiasikan isu pangan tersebut. sentralitas WTO sebagai institusi perdagangan utama dunia terus tergerus dan dipertanyakan relevansinya. Keraguan ini semakin menguat di tengah disfragilitas antara negara maju yang dipimpin oleh Amerika Serikat mengalami benturan kepentingan dengan negara berkembang, yaitu India sebagai pemimpin negara berkembang. Resistensi India ditengah skema penurunan subsidi, memposisikan diri dengan kepentingannya adalah menyangkut persoalan krisis pangan yang terus meningkat dan akses pasar, dimana korporasi agribisnis lebih dominan mengambil keuntungan, sehingga petani kelas rendah tersingkir. Banyak kalangan, final pertemuan KTM ke – 9 yang sendiri dianggap sebagai momentum penting bagi negara berkembang sebagai terobosan bersejarah di luar kegaliban kisah gagal sebelumnya, dimana saat negara berkembang kadang diam, kali ini justru India menunjukkan sikap kritisnya dalam skema pertanian. Beberapa pertanyaan muncul terkait pencapaian Paket Bali ini: Mengapa India begitu ngotot menolak skema pertanian? Apa alasan dibalik keberhasilan India memenangkan negoisasi skema aturan subsidi batal disepakati? Dengan menggunakan pendekatan kuasa (power) dari Barnett-Duvall dan konsep kepentingan nasional, penelitian ini berupaya untuk memahami alasan dibalik resistensi India tersebut sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Kedua pendekatan ini berguna membedakan bahwa institusi tunggal, yaitu WTO melaksanakan perdagangan bebas, dengan serangkaian rezimnya merupakan peluang bagi negara berkembang ataukah peluang menuju pada agenda dominasi negara maju.

Item Type: Thesis (S1)
Divisions: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik > Hubungan Internasional S1
Depositing User: Unnamed user with email robi@umy.ac.id
Date Deposited: 18 Jun 2022 07:54
Last Modified: 18 Jun 2022 07:54
URI: https://etd.umy.ac.id/id/eprint/16012

Actions (login required)

View Item
View Item